Kamis, 25 April 2013

ASURANSI KONVENSIONAL VS ASURANSI TAKAFUL


BAB I
PENDAHULUAN

1.1.Latar Belakang  Masalah

Dalam pembahasan ekonomi syari’ah kita mengenal istilah gharar yang artinya tidak jelas. Maksud tidak jelas disini yaitu antara penjual dan pembeli saling tidak mengetahui keadaan barang atau jasa yang diperjualbelikannya. Ketidakjelasan tersebut menyebabkan gharar ini tidak diperbolehkan, karena ditakutkan akan adanya pihak yang didzalimi, baik dari pihak penjual, pembeli, ataupun antara keduanya.
Asuransi adalah sebuah transaksi yang tidak jelas waktu, kadar, ataupun kualitasnya. Karena sebuah jasa ataupun barang yang dihasilkan dari pembayaran asuransi yang dilakukan oleh pelanggan tidak jelas akan di laksanakan atau diberikan kapan, dimana, dan berapa kuantitasnya. Contohnya seperti asuransi kesehatan, beban asuransi terus-menerus dikenakan kepada pelanggan sedangkan keadaan sehatnya pelanggan itu tidak jelas. Yaitu tidak jelas kapan pelanggan itu sakit dan membutuhkan dana asuransi tersebut.
Melihat pernyataan di atas, asuransi merupakan transaksi gharar. Dan asuransi yang dimaksud dari pernyataan di atas merupakan asuransi konvensional. Menyikapi permasalahan tersebut, Islam memberikan suatu solusi sehingga asuransi itu diperbolehkan. Oleh karena itu, penulis akan mencoba menjelaskan konsep asuransi yang diperbolehkan Islam yaitu yang disebut dengan asuransi takaful.

1.2.Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan rumusan masalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian asuransi konvensional ?
2.      Apa pengertian asuransi ta’awun (at-ta’mien at-ta’awuni) atau takaful ?
3.      Apa saja kepemilikan perusahaan asuransi takaful ?
4.      Apa saja produk asuransi takaful Indonesia?
5.      Bagaimana perbedaan antara asuransi ta’awunn atau takaful dan konvensional?

1.3.Tujuan Makalah

Sesuai dengan rumusan masalah diatas
 Makalah ini disusun dengan tujuan untuk mengetahui dan mendeskripsikan :
1.      Menjelaskan pengertianasuransikonvensional
2.      Menjelaskan pengertianasuransita’awun (at-ta’mien at-ta’awuni) atau takaful
3.      Menjelaskan apa saja kepemilikan perusahaan asuransi takaful
4.      Menjelaskan apa saja produk asuransi takaful Indonesia
5.      Menjelaskan bagaimana perbedaan antara asuransi ta’awunn atau takaful dan konvensional

1.4. Kegunaan Makalah

Makalah ini disusun dengan harapan agar dapat memberikan kontribusi dalam manfaat baik secara teoritis dan secara praktis secara teortis makalah ini berguna sebagai media pengembangan manusia dalam bidang ekonomi. Secara praktis makalah ini diharapkan agar dapat bermanfaat bagi
1.      Penulis sebagai sarana untuk menambah pengetahuan dan wawasan tentang konsep asuransi konvensional dan asuransi takaful.
2.      Pembaca sebagai media transformasi ilmu tentang asuransi konvensional dan asuransi takaful secara teoritis maupun secara praktis
3.      Pemerintah sebagai bahan evaluasi dan penambah motivasi dalam mengupayakan aktualisasi proses peningkatan perekonomian masyarakat sehingga dapat membantu meningkatkan kualitas kesejahteraan masyarakat khususnya di Indonesia.


BAB II
PEMBAHASAN

Pengertian Asuransi Konvensional

Kata asuransi ini dalam bahasa inggris disebut Insurance dan dalam bahasa prancis disebut Assurance. Sedangkan dalam bahasa arab disebut at-Ta’mien. Asuransi ini didefinisikan dalam kamus umum bahasa Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu akan membayar uang kepada pihak yang lain, bila terjadi kecelakaan dan sebagainya, sedang pihak yang lain itu akan membayar iuran.
Demikian juga telah didefinisikan dalam perundang-undangan negara Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan atau kehilangan keuntungan yang diharapkan atau tanggung jawab hukum pihak ke tiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu peristiwa yang tidak pasti, atau memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan.
Sedangkan sebagian ulama syari’at dan ahli fikih memberikan definisi yang beragam, diantaranya:
1.   Pendapat pertama, asuransi adalah perjanjian jaminan dari fihak pemberi jaminan (yaitu perusahaan asuransi) untuk memberi sejumlah harta atau upah secara rutin atau ganti barang yang lain, kepada fihak yang diberi jaminan (yaitu nasabah asuransi), pada waktu terjadi musibah atau kepastian bahaya, yang dijelaskan dengan perjanjian, hal itu sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan oleh nasabah kepada perusahaan.
2.   Pendapat kedua, asuransi adalah perjanjian yang mengikat diri penanggung sesuai tuntutan perjanjian untuk membayar kepada pihak tertanggung atau nasabah yang memberikan syarat tanggungan untuk kemaslahatannya sejumlah uang atau upah rutin atau ganti harta lainnya pada waktu terjadinya musibah atau terwujudnya resiko yang telah dijelaskan dalam perjanjian. Hal tersebut diberikan sebagai ganti angsuran atau pembayaran yang diberikan tertanggung kepada penanggung (pihak asuransi).
3.   Pendapat ketiga, asuransi adalah pengikatan diri pihak pertama kepada pihak kedua dengan memberikan ganti berupa uang yang diserahkan kepada pihak kedua atau orang yang ditunjuknya ketika terjadi resiko kerugian yang telah dijelaskan dalam akad. Itu sebagai imbalan dari yang diserahkan pihak kedua berupa sejumlah uang tertentu dalam bentuk angsuran atau yang lainnya.
Dari definisi yang beraneka ragam tersebut terdapat kata sepakat dalam beberapa hal berikut ini:
·         Adanya ijab dan qabul dari pihak penanggung (al-Mu’ammin) dan tertanggung (al-Mu’ammin Lahu).
·         Adanya obyek yang menjadi arahan asuransi.
·         Tertanggung menyerahkan kepada penanggung (pengelola asuransi) sejumlah uang baik dengan tunai atau angsuran sesuai kesepakatan kedua belah pihak, yang dinamakan premi.
·         Penanggung memberikan ganti kerugian kepada tertanggung apabila terjadi kerusakan seluruhnya atau sebagiannya. Inilah asuransi yang umumnya berlaku dan ini dinamakan asuransi konvensional (al-Ta’mien al-Tijaari) yang dilarang mayoritas ulama dan peneliti masalah kontemporer dewasa ini. Juga menjadi ketetapan majlis Hai’ah kibar Ulama (majlis ulama besar Saudi Arabia) no. 55 tanggal 4/4/1397 H dan ketetapan no 9 dari Majlis Majma’ al-Fiqh dibawah Munazhomah al-Mu’tamar al-Islami (OKI).
Demikian juga diharamkan dalam keputusan al-Mu’tamar al-’Alami al-Awal lil Iqtishad al-Islami di Makkah tahun 1396H.
Kemudian para ulama memberikan solusi dalam masalah ini dengan merumuskan satu jenis asuransi syari’at yang didasarkan kepada akad tabarru’at [8] yang dinamakan at-Ta’mien at-Ta’awuni (asuransi ta’awun) atau at-Ta’mien at-Tabaaduli.


PengertianAsuransiTa’awun (at-Ta’mien at-Ta’awuni)atau Takaful

Para ulama kontemporer mendefinisikan at-Ta’mien at-Ta’awuni dengan beberapa definisi, diantaranya:
1.   Pendapat pertama, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang memiliki resiko bahaya tertentu. Hal itu dengan cara mereka mengumpulkan sejumlah uang secara berserikat. Sejumlah uang ini dikhususkan untuk mengganti kerugian yang sepantasnya kepada orang yang tertimpa kerugian diantara mereka. Apabila premi yang terkumpulkan tidak cukup untuk itu, maka anggota diminta mengumpulkan tambahan untuk menutupi kekurangan tersebut. Apabila lebih dari yang dikeluarkan dari ganti rugi tersebut maka setiap anggota berhak meminta kembali kelebihan tersebut. Setiap anggota dari asuransi ini adalah penanggung dan tertanggung sekaligus. Asuransi ini dikelola oleh sebagian anggotanya. Akan jelas gambaran jenis asuransi ini adalah seperti bentuk usaha kerjasama dan solidaritas yang tidak bertujuan mencari keuntungan (bisnis) dan tujuannya hanyalah mengganti kerugian yang menimpa sebagian anggotanya dengan kesepakatan mereka membaginya diantara mereka sesuai dengan tata cara yang dijelaskan.
2.   Pendapat kedua, asuransi ta’awun adalah kerjasama sejumlah orang yang memiliki kesamaan resiko bahaya tertentu untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka dengan cara mengumpulkan sejumlah uang untuk kemudian menunaikan ganti rugi ketika terjadi resiko bahaya yang sudah ditetapkan.
3.   Pendapat ketiga, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang membuat shunduq (tempat mengumpulkan dana) yang mereka danai dengan angsuran tertentu yang dibayar setiap dari mereka. Setiap mereka mengambil dari shunduq tersebut bagian tertentu apabila tertimpa kerugian (bahaya) tertentu.
4.   Pendapat keempat, asuransi ta’awun adalah berkumpulnya sejumlah orang yang menanggung resiko bahaya serupa dan setiap mereka memiliki bagian tertentu yang dikhususkan untuk menunaikan ganti rugi yang pantas bagi yang terkena bahaya. Apabila bagian yang terkumpul (secara syarikat) tersebut melebihi yang harus dikeluarkan sebagai ganti rugi maka anggota memiliki hak untuk meminta kembali. Apabila kurang maka para anggota diminta untuk membayar iuran tambahan untuk menutupi kekurangannya atau dikurangi ganti rugi yang seharusnya sesuai ketidak mampuan tersebut. Anggota asuransi ta’awun ini tidak berusaha merealisasikan keuntungan namun hanya berusaha mengurangi kerugian yang dihadapi sebagian anggotanya, sehingga mereka melakukan akad transaksi untuk saling membantu menanggung musibah yang menimpa sebagian mereka.
Sehingga dari keterangan diatas dapat disimpulkan bahwa asuransi ta’awun adalah bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu dan itu diambil dari kumpulan iuran yang setiap dari mereka telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru’ yang bertujuan saling membantu dan tidak bertujuan perniagaan dan cari keuntungan.
Gambaran paling gampangnya adalah misalnya ada satu keluarga atau sejumlah orang membuat shunduq lalu mereka menyerahkan sejumlah uang yang nantinya dari kumpulan uang tersebut digunakan untuk ganti rugi kepada anggotanya yang mendapatkan musibah (bahaya). Apabila uang yang terkumpul tersebut tidak menutupinya, maka mereka menutupi kekurangannya. Apabila berlebih setelah penunaian ganti rugi tersebut maka dikembalikan kepada mereka atau dijadikan modal untuk masa yang akan datang. Hal ini mungkin dapat diperluas menjadi satu lembaga atau yayasan yang memiliki petugas yang khusus mengelolanya untuk mendapatkan dan menyimpan uang-uang tersebut serta mengeluarkannya. Lembaga ini boleh juga memiliki pengelola yang merencanakan rencana kerja dan managementnya. Semua pekerja dan petugas berikut pengelolanya mendapatkan gaji tertentu atau mereka melakukannya dengan sukarela. Namun semua harus dibangun untuk tidak cari keuntungan (bisnis) dan seluruh sisinya bertujuan untuk ta’awun (saling tolong menolong).
Dari sini dapat dijelaskan karekteristik asuransi ta’awun sebagai berikut:
·         Tujuan dari asuransi ta’awun adalah murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah.
·         Akad asuransi ta’awun adalah akad tabarru’. Hal ini tampak tergambarkan dalam hubungan antara nasabah (anggotanya), dimana bila kurang mereka menambah dan bila lebih mereka punya hak minta dikembalikan sisanya.
·         Dasar fikroh asuransi ta’awun ditegakkan pada pembagian kerugian bahaya tertentu atas sejumlah orang, dimana setiap orang memberikan saham dalam membantu menutupi kerugian tersebut diantara mereka. Sehingga orang yang ikut serta dalam asuransi ini saling bertukar dalam menanggung resiko bahaya diantara mereka.
·         Pada umumnya asuransi ta’awun ini berkembang pada kelompok yang punya ikatan khusus dan telah lama, seperti kekerabatan atau satu pekerjaan (profesi).
·         Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya yang ada diambil dari yang ada di shunduq (simpanan) asuransi, apabila tidak mencukupi maka terkadang diminta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja.
Asuransi Takaful adalah pelopor asuransi syariah di Indonesia. Perusahaan Asuransi Takaful berdiri pada tanggal 24 Februari 1994 yang diprakarsai oleh Tim Pembentukan Asuransi Takaful Indonesia atau TEPATI dan digerakkan oleh Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia melalui Yayasan Abdi Bangsa. Selain itu, Bank Muamalat Indonesia, Departemen Keuangan RI, Asuransi Jiwa Tugu Mandiri dan beberapa pengusaha Muslim asal Indonesia turut memotori Asuransi Takaful di bawah naungan Perusahaan PT Syarikat Takaful Indonesia.
Asuransi Takaful memberikan jasa asuransi kepada masyarakat Indonesia yang dilandaskan pada prinsip Syariah Islam dan telah berjalan sekitar satu dasawarsa. Perusahaan Asuransi Takaful sendiri memiliki dua cabang perusahaan operasional yakni:
1. PT Asuransi Takaful Umum (Asuransi Umum Syariah)
Perusahaan asuransi ini berdiri pada tahun 1994, tepatnya pada tanggal 4 Agustus 1994 dan beroperasi resmi sejak tanggal 25 Agustus 1994.
2. PT Asuransi Takaful Keluarga (Asuransi Jiwa Syariah)
Perusahaan ini diresmikan pada tanggal 2 Juni 1995 oleh Menristek/Ketua BPPT Prof. Dr. B.J. Habibie.

Kepemilikan Perusahaan Asuransi Takaful

Saham mayoritas di Perusahaan Asuransi Takaful dimiliki oleh Syarikat Takaful Malaysia Berhad sebesar 56%, Islamic Development Bank memiliki saham sebesar 26,39% dan selebihnya dimiliki oleh PNM atau Permodalan Nasional Madani, Bank Muamalat dan Yayasan Abdi Bangsa. Untuk menjaga kualitas layanan jasa asuransi yang diberikan oleh Asuransi Takaful, maka untuk perusahaan Asuransi Takaful memperoleh sertifikat Sertifikasi ISO 9001:2000 dari SGS JAS-ANZ dari Selandia Baru untuk Asuransi Takaful Umum. Sedangkan Asuransi Takaful Keluarga mendapatkan Sertifikasi ISO 9001:2000 dari dari Det Norske Veritas (DNV) dari Belanda.
Penghargaan terhadap Asuransi Takaful pun telah diraih yakni di antaranya adalah: MUI Award 2004 dengan predikat sebagai Asuransi Syariah Terbaik di Indonesia dan oleh Majalah InfoBank 2004 dan 2005 memberikan penghargaan kepada Asuransi Takaful sebagai Asuransi Syariah yang Sangat Bagus dan sebagai Pioner Asuransi Umum Syariah oleh Investor Syariah Award.

Produk Asuransi Takaful Indonesia

Berikut produk asuransi yang ditawarkan oleh Asuransi Takaful Indonesia:
1.   Asuransi Takaful Umum, yang berfokus pada pemberian layanan dan bantuan kepada tertanggung oleh karena kerugian seperti kebakaran, pengangkutan, kendaraan bermotor dan niaga. Asuransi ini berfokus kepada perlindgungan yang disesuaikan dengan Muamalah Syariah Islam. Produk-produk yang ditawarkan adalah sebagai berikut: 
  1. Takaful Baituna 
  2. Takaful Surgaina 
  3. Takaful Abror 
  4. Takaful Ansor 
  5. Takaful Rekayasa 
  6. Takaful Aneka 
  7. Takaful Kebakaran 
  8. Takaful Pengangkutan & Rangka Kapal 
  9. Takaful Kendaraan Bermotor
2.   Asuransi Takaful Keluarga yang berfokus pada pemberian layanan dan bantuan serta investasi yang menyangkut asuransi jiwa dan keluarga, untuk kesejahteraan masyarakat yang tentu dilandaskan pada Muamalah Syariah Islam. Produk yang ditawarkan oleh Asuransi Takaful Keluarga pun meliputi layanan individual, layanan grup atau kumpulan, bancassurance dan khusus asuransi kesehatan. Berikut pengelompokannya:
a).  Asuransi Takaful Keluarga Layanan Individual yang mencakup:
·         Takafulink
·         Takaful Kecelakaan Diri
·         Fulnadi
·         Takafulink Alia
·         Takaful Ukhuwah
b).  Asuransi Takaful Keluarga Layanan Grup / Kumpulan yang mencakup:
·         Takaful Ordinary: Takaful Al Khairat, Takaful Kecelakaan Diri, Takaful    Kecelakaan Siswa, Takaful Wisata & Perjalanan.
·         Bancassurance: Takaful Pembiayaan.
·         Takaful Kesehatan: FulMedicare.

Selain produk-produk umum di atas, ternyata Asuransi Takaful pun memiliki produk unik lainnya yang bisa dinikmati oleh kalangan khusus, antara lain sebagai berikut:
1.   Asuransi Takaful Safari yang diperuntukkan kepada pelanggan Telkomsel yang memberikan asuransi jiwa dalam rentang waktu 10 hari dengan nilai perlindungan hingga senilai Rp 100 juta dengan pemotongan pulsa Rp 8.000/10 hari.
2.   Asuransi Takaful Fulprotek yang berupa kartu dan memiliki fungsi sebagai kartu asuransi, ATM dan debit.

Perbedaan Antara Asuransi Ta’awun dan Konvensional

Dari karekteristik diatas dan definisi yang disampaikan para ulama kontemporer tentang asuransi ta’awun dapat dijelaskan perbedaan antara asuransi ini dengan yang konvensional. Diantaranya:
1.   Asuransi ta’awun termasuk akad tabarru yang bermaksud murni takaful dan ta’awun (saling tolong menolong) dalam menutup kerugian yang timbul dari bahaya dan musibah. Sehingga premi dari anggotanya bersifat hibah (tabarru’). Berbeda dengan asuransi konvensional yang bermaksud mencari keuntungan berdasarkan akad al-Mu’awwadhoh al-Ihtimaliyah (bisnis oriented yang berspekulasi yang dalam bahasa Prancis contrats aleatoirs).
2.   Penggantian ganti rugi atas resiko bahaya dalam asuransi ta’awun diambil dari jumlah premi yang ada di shunduq (simpanan) asuransi. Apabila tidak mencukupi maka adakalanya minta tambahan dari anggota atau mencukupkan dengan menutupi sebagian kerugian saja. Sehingga tidak ada keharusan menutupi seluruh kerugian yang ada bila anggota tidak sepakat menutupi seluruhnya. Berbeda dengan asuransi konvensional yang mengikat diri untuk menutupi seluruh kerugian yang ada (sesuai kesepakatan) sebagai ganti premi asuransi yang dibayar tertanggung. Hal ini menyebabkan perusahaan asuransi mengikat diri untuk menanggung semua resiko sendiri tanpa adanya bantuan dari nasabah lainnya. Oleh karena itu tujuan akadnya adalah cari keuntungan, namun keuntungannya tidak bias untuk kedua belah pihak. Bahkan apabila perusahaan asuransi tersebut untung maka nasabah (tertanggung) merugi dan bila nasabah (tertanggung) untung maka perusahaan tersebut merugi. Dan ini merupakan memakan harta dengan batil karena berisi keuntungan satu pihak diatas kerugian pihak yang lainnya.
3.   Dalam asuransi konvensional bisa jadi perusahaan asuransi tidak mampu membayar ganti rugi kepada nasabahnya apabila melewati batas ukuran yang telah ditetapkan perusahaan untuk dirinya. Sedangkan dalam asuransi ta’awun, seluruh nasabah tolong menolong dalam menunaikan ganti rugi yang harus dikeluarkan dan pembayaran ganti rugi sesuai dengan yang ada dari peran para anggotanya.
4.   Asuransi ta’awun tidak dimaksudkan untuk mencari keuntungan dari selisih premi yang dibayar dari ganti rugi yang dikeluarkan. Bahkan bila ada selisih (sisa) dari pembayaran klaim maka dikembalikan kepada anggota (tertanggung). Sedangkan sisa dalam perusahaan asuransi konvensional dimiliki perusahaan.
5.   Penanggung (al-Mu’ammin) dalam asuransi ta’awun adalah tertanggung (al-Mu’ammin Lahu) sendiri. Sedangkan dalam asuransi konvensional, penanggung (al-Mu’ammin) adalah pihak luar.
6.   Premi yang dibayarkan tertanggung dalam asuransi ta’awun digunakan untuk kebaikan mereka seluruhnya. Karena tujuannya tidak untuk berbisnis dengan usaha tersebut, namun dimaksudkan untuk menutupi ganti kerugian dan biaya operasinal perusahaan saja Sedangkan dalam system konvensional premi tersebut digunakan untuk kemaslahatan perusahaan dan keuntungannya semata Karena tujuannya adalah berbisnis dengan usaha asuransi tersenut untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya dari pembayaran premi para nasabahnya.
7.   Asuransi ta’awun bebas dari riba, spekulasi dan perjudian serta gharar yang terlarang. Sedangkan asuransi konvensional tidak lepas dari hal-hal tersebut.
8.   Dalam asuransi ta’awun, hubungan antara nasabah dengan perusahaan asuransi ta’awun ada pada asas berikut ini:
a.  Pengelola perusahaan melaksanakan managemen operasional asuransi berupa menyiapkan surat tanda keanggotaan (watsiqah), mengumpulkan premi, mengeluarkan klaim (ganti rugi) dan selainnya dari pengelolaannya dengan mendapatkan gaji tertentu yang jelas. Itu karena mereka menjadi pengelola operasional asuransi dan ditulis secara jelas jumlah fee (gaji) tersebut.
b. Pengelola perusahaan melakukan pengembangan modal yang ada untuk mendapatkan izin membentuk perusahaan dan juga memiliki kebolehan mengembangkan harta asuransi yang diserahkan para nasabahnya. Dengan ketentuan mereka berhak mendapatkan bagian keuntungan dari pengembangan harta asuransi sebagai mudhoorib (pengelola pengembangan modal dengan mudhorabah).
c. Perusahaan memiliki dua hitungan yang terpisah. Pertama untuk pengembangan modal perusahaan dan kedua hitungan harta asuransi dan sisa harta asuransi murni milik nasabah (pembayar premi).
d. Pengelola perusahaan bertanggung jawab apa yang menjadi tanggung jawab al-Mudhoorib dari aktivitas pengelolaan yang berhubungan dengan pengembangan modal sebagai imbalan bagian keuntungan mudhorabah, sebagaimana juga bertanggung jawab pada semua pengeluaran kantor asuransi sebagai imbalan fee (gaji) pengelolaan yang menjadi hak mereka. [15]
Sedangkan hubungan antara nasabah dengan perusahan asuransi dalam asuransi konvensional adalah semua premi yang dibayar nasabah (tertanggung) menjadi harta milik perusahaan yang dicampur dengan modal perusahaan sebagai imbalan pembayaran klaim asuransi. Sehingga tidak ada dua hitungan yang terpisah.
1.   Nasabah dalam perusahaan asuransi ta’awun dianggap anggota syarikat yang memiliki hak terhadap keuntungan yang dihasilkan dari usaha pengembangan modal mereka. Sedangkan dalam asuransi konvensional, para nasabah tidak dianggap syarikat, sehingga tidak berhak sama sekali dari keuntungan pengembangan modal mereka bahkan perusahan sendirilah yang mengambil seluruh keuntungan yang ada.
2.   Perusahaan asuransi ta’awun tidak mengembangkan hartanya pada hal-hal yang diharamkan. Sedangkan asuransi konvensional tidak memperdulikan hal dan haram dalam pengembangan hartanya.
Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional, yaitu:
1.      Asuransi syari’ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
2.      Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari’ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli
3.      Investasi dana pada asuransi syari’ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya
4.      Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
5.      Dalam mekanismenya, asuransi syari’ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru’.
6.      Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
7.      Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak milik perusahaan.
Bagaimanakah hukum asuransi menurut agama Islam? Menurut pendapat saya, secara praktis asuransi hampir sama dengan praktek perbankan komersial lainnya, bahkan lebih kental unsur bunganya. Intinya, pemegang polis akan menerima sejumlah uang pertanggungan sebagaimana yang diperjanjikan dengan menyetor sejumlah uang tertentu. Jumlah uang yang disetor, baik sekali setor maupun berkala, lebih sedikit dari jumlah uang pertanggungan. Secara hitungan finansial yang sangat kental dengan riba, hal itu sudah lumrah. Dapat dikatakan tidak ada perusahaan asuransi yang mewajibkan setorannya lebih besar dari uang pertanggungannya.
Seandainya praktek asuransi itu haram hukumnya menurut Islam, alternatif apa sajakah yang menurut agama Islam sah untuk mengakomodir hal-hal sebagaimana yang dicover oleh praktek asuransi?
Para ulama telah membahas panjang lebar mengenai asuransi konvesional, mencakup asuransi jiwa, kecelakaan dll. Akhirnya mereka pada kesimpulan bahwa asuransi konvensional mengandung unsur ketidak jelasan yang sangat tinggi, seperti berapa lama harus membayar, berapa jumlah yang akan diterima peserta asuransi. Unsur ketidakjelasan dalam obyek transaksi disebut "gharar" yang diharamkan oleh hadist yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah bahwa Rasulullah s.a.w. melarang jual beli yang mengandung unsur "gharar". (H.R. Muslim, Abud Dawud dll.)
Dalam asuransi konvnsional juga banyak hal-hal yang disembunyikan, seperti mekanisme penghitungan dana asuransi yang akan diberikan, jumlah dana yang disetorkan sampai kepada prosedur pemberian dana transaksi.
Yang lebih kuat lagi menjadi alasan untuk dilarang secara agama, bahwa dalam asuransi konvensional terdapat konsep dana hangus, yaitu apabila peserta asuransi menghentikan pembayarannya maka dana premi yang telah dibayarnya akan hangus, ini sangat bertentangan dengan asas bermu'amalah sesuai ajaran agama yang melarang memakan harta orang lain dengan cara batil dan tidak boleh mengambil hak orang lain kecuali dengan asas keridloan, serta larangan berbuat kedlaliman dan aniaya.
Dalam praktik asuransi konvensional, juga sangat terkait erat dengan transaksi riba. Transaksi yang dilakukan antara peserta asuransi dan perusahaan pengelola asuransi, tidak jauh berbeda dengan transaksi riba konvensional. Ini karena perusahaan asuransi seakan meminjam uang dari peserta asuransi untuk jangka waktu tertentu dan mengembalikannya dengan jumlah lebih besar atau lebih sedikit, hanya didasarkan pada jeda waktu pengembalian. Kemudian dana yang masuk ke perusahaan asuransi, sudah pasti (umumnya) akan diputar dalam bentuk transaksi yang mengandung unsur riba.


BAB III
PENUTUP

1.1.Kesimpulan

Kata asuransi ini dalam bahasa inggris disebut Insurance dan dalam bahasa prancis disebut Assurance. Sedangkan dalam bahasa arab disebutat-Ta’mien. Asuransi ini didefinisikan dalam kamus umum bahasa Indonesia sebagai perjanjian antara dua pihak, pihak yang satu akan membayar uang kepada pihak yang lain, bila terjadi kecelakaan dansebagainya, sedang pihak yang lain itu akan membayar iuran.
Asuransi ta’awun adalah bergeraknya sejumlah orang yang masing-masing sepakat untuk mengganti kerugian yang menimpa salah seorang dari mereka sebagai akibat resiko bahaya tertentu dan itu diambil dari kumpulan iuran yang setiap dari mereka telah bersepakat membayarnya. Ini adalah akad tabarru’ yang bertujuan saling membantu dan tidak bertujuan perniagaan dan cari keuntungan.
Saham mayoritas di Perusahaan Asuransi Takaful dimiliki oleh Syarikat Takaful Malaysia Berhad sebesar 56%, Islamic Development Bank memiliki saham sebesar 26,39% dan selebihnya dimiliki oleh PNM atau Permodalan Nasional Madani, Bank Muamalat dan Yayasan Abdi Bangsa. Untuk menjaga kualitas layanan jasa asuransi yang diberikan oleh Asuransi Takaful, maka untuk perusahaan Asuransi Takaful memperoleh sertifikat Sertifikasi ISO 9001:2000 dari SGS JAS-ANZ dari Selandia Baru untuk Asuransi Takaful Umum. Sedangkan Asuransi Takaful Keluarga mendapatkan Sertifikasi ISO 9001:2000 dari dari Det Norske Veritas (DNV) dari Belanda.
Berikut produk asuransi yang ditawarkan oleh Asuransi Takaful Indonesia:
1.   Asuransi Takaful Umum
2.   Asuransi Takaful Keluarga
a).  Asuransi Takaful Keluarga Layanan Individual yang mencakup:
b).  Asuransi Takaful Keluarga Layanan Grup / Kumpulan yang mencakup:
Selain produk-produk umum di atas, ternyata Asuransi Takaful pun memiliki produk unik lainnya yang bisa dinikmati oleh kalangan khusus, antara lain sebagai berikut:
1.   Asuransi Takaful Safari
2.   Asuransi Takaful Fulprotek
Ada tujuh perbedaan mendasar antara asuransi syariah dengan asuransi konvensional, yaitu:
1.      Asuransi syari’ah memiliki Dewan Pengawas Syariah (DPS) yang betugas mengawasi produk yang dipasarkan dan pengelolaan investasi dananya. Dewan Pengawas Syariah ini tidak ditemukan dalam asuransi konvensional.
2.      Akad yang dilaksanakan pada asuransi syari’ah berdasarkan tolong menolong. Sedangkan asuransi konvensional berdasarkan jual beli
3.      Investasi dana pada asuransi syari’ah berdasarkan bagi hasil (mudharabah). Sedangkan pada asuransi konvensional memakai bunga (riba) sebagai landasan perhitungan investasinya
4.      Kepemilikan dana pada asuransi syari’ah merupakan hak peserta. Perusahaan hanya sebagai pemegang amanah untuk mengelolanya. Pada asuransi konvensional, dana yang terkumpul dari nasabah (premi) menjadi milik perusahaan. Sehingga, perusahaan bebas menentukan alokasi investasinya.
5.      Dalam mekanismenya, asuransi syari’ah tidak mengenal dana hangus seperti yang terdapat pada asuransi konvensional. Jika pada masa kontrak peserta tidak dapat melanjutkan pembayaran premi dan ingin mengundurkan diri sebelum masa reversing period, maka dana yang dimasukan dapat diambil kembali, kecuali sebagian dana kecil yang telah diniatkan untuk tabarru’.
6.      Pembayaran klaim pada asuransi syari’ah diambil dari dana tabarru’ (dana kebajikan) seluruh peserta yang sejak awal telah diikhlaskan bahwa ada penyisihan dana yang akan dipakai sebagai dana tolong menolong di antara peserta bila terjadi musibah. Sedangkan pada asuransi konvensional pembayaran klaim diambilkan dari rekening dana perusahaan.
7.      Pembagian keuntungan pada asuransi syari’ah dibagi antara perusahaan dengan peserta sesuai prinsip bagi hasil dengan proporsi yang telah ditentukan. Sedangkan pada asuransi konvensional seluruh keuntungan menjadi hak  milik perusahaan.
. 

DAFTAR PUSTAKA


Tidak ada komentar:

Posting Komentar