BAB I
PENDAHULUAN
1.
LATAR BELAKANG
Hukum Pidana
Islam sering disebut dalam fiqh dengan istilah jinayat atau jarimah.
Jinayat dalam istilah hukum sering disebut dengan delik atau tindak
pidana. Jinahah merupakan bentuk verbal noun (mashdar)
dari kata jana. Secara etimologi jana berarti berbuat dosa
atau salah, sedangkan jinayah diartikan perbuatan dosa atau perbuatan
salah. Secara terminologi kata jinayat mempunyai beberapa pengertian,
seperti yang diungkapkan oleh Abd al Qodir Awdah bahwa jinayat adalah
perbuatan yang dilarang oleh syara' baik perbuatan itu mengenai jiwa, harta
benda, atau lainnya.
Menurut A.
Jazuli, pada dasarnya pengertian dari istilah Jinayah mengacu kepada hasil
perbuatan seseorang. Biasanya pengertian tersebut terbatas pada perbuatan yang
dilarang. Di kalangan fuqoha', perkataan Jinayat berarti perbuatan perbuatan
yang dilarang oleh syara'. Meskipun demikian, pada umunya fuqoha' menggunakan
istilah tersebut hanya untuk perbuatan perbuatan yang terlarang menurut syara'.
Meskipun demikian, pada umumnya fuqoha' menggunakan istilah tersebut hanya
untuk perbuatan perbuatan yang mengancam keselamatan jiwa, seperti pemukulan,
pembunuhan dan sebagainya. Selain itu, terdapat fuqoha' yang membatasi istilah
Jinayat kepada perbuatan perbuatan yang diancam dengan hukuman hudud dan
qishash, tidak temasuk perbuatan yang diancam dengan ta'zir. Istilah lain yang
sepadan dengan istilah jinayat adalah jarimah, yaitu larangan larangan syara'
yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta'zir.
Sebagian
fuqoha menggunakan kata jinayat untuk perbuatan yang yang berkaitan
dengan jiwa atau anggota badan, seperti membunuh, melukai dan lain sebagainya.
Dengan demikian istilah fiqh jinayat sama dengan hukum pidana. Haliman
dalam disertasinya menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan hukum pidana dalam
syari'at Islam adalah ketentuan-ketentuan hukum syara' yang melarang untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu, dan pelanggaran terhadap ketentuan hukum
tersebut dikenakan hukuman berupa penderitaan badan atau harta.
·
Jarimah Qishosh Diyat. Yaitu
perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik
qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan
batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak
perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had
yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada
beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi
hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi
hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain
pembunuhan sengaja (qotl ‘amd), pembunuhan semi sengaja (qotl
sibh ‘amd), pembunuhan keliru (qotl khotho'), penganiayaan
sengaja (jarh ‘amd) dan penganiayaan salah (jarh khotho')
Yaitu
perbuatan yang diancam dengan hukuman qishosh dan diyat. Baik
qishosh maupun diyat merupakan hukuman yang telah ditentukan
batasannya, tidak ada batas terendah dan tertinggi tetapi menjadi hak
perorangan (si korban dan walinya), ini berbeda dengan hukuman had
yang menjadi hak Allah semata. Penerapan hukuman qishosh diyat ada
beberapa kemungkinan, seperti hukuman qishosh bisa berubah menjadi
hukuman diyat, hukuman diyat apabila dimaafkan akan menjadi
hapus. Yang termasuk dalam kategori jarimah qishosh diyat antara lain
pembunuhan sengaja (qotl ‘amd), pembunuhan semi sengaja (qotl
sibh ‘amd), pembunuhan keliru (qotl khotho'), penganiayaan
sengaja (jarh ‘amd) dan penganiayaan salah (jarh khotho').
Diantara
jarimah-jarimah qishosh diyat yang paling berat adalah hukuman bagi
pelaku tindak pidana pembunuhan sengaja (qotl ‘amd) karena hukuman
baginya adalah dibunuh. Pada dasarnya seseorang haram menghilangkan orang lain
tanpa alasan syar'i bahkan Allah mengatakan tidak ada dosa yang lebih besar
lagi setelah kekafiran selain pembunuhan terhadap orang mukmin. "Dan
barang siapa membunuh orang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah
jahannam, ia kekal di dalamnya dana Allah murka kepadanya, mengutuknya serta
menyediakan azab yang besar baginya." (an nisa': 93). Rosulullah SAW
juga bersabda, " Sesuatu yang pertama diadili di antara manusia di
hari kiamat adalah masalah darah". (Muttafaqun ‘alaih).
Dalam Islam
pemberlakuan hukuman mati terhadap pelaku pembunuhan sengaja tidak
bersifat mutlak, karena jika dimaafkan oleh keluarga korban dia hanya diberi
hukuman untuk membayar diyat yaitu denda senilai 100 onta (‘Abdl
Basyir, 2003: 61). Di dalam Hukum Pidana Islam, diyat merupakan
hukuman pengganti (‘uqubah badaliah) dari hukuman mati yang
merupakan hukuman asli (‘uqubah ashliyah) dengan syarat adanya
pemberian maaf dari keluarganya.
·
Jarimah Ta'zir. Jenis sanksinya
secara penuh ada pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat.
Dalam hal ini unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya
pelanggaran terhadap lingkungan hidup, lalu lintas, dan
pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya. Dalam penetapan jarimah ta'zir
prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah menjaga kepentingan umum dan
melindungi setiap anggota masyarakat dari kemadhorotan (bahaya). Disamping itu,
penegakan jarimah ta'zir harus sesuai dengan prinsip syar'i (nas).
Jenis sanksinya secara penuh ada
pada wewenang penguasa demi terealiasinya kemaslahatan umat. Dalam hal ini
unsur akhlak menjadi pertimbangan paling utama. Misalnya pelanggaran terhadap
lingkungan hidup, lalu lintas, dan pelanggaran-pelanggaran lalu lintas lainnya.
Dalam penetapan jarimah ta'zir prinsip utama yang mejadi acuan penguasa adalah
menjaga kepentingan umum dan melindungi setiap anggota masyarakat dari
kemadhorotan(bahaya). Disamping itu, penegakan jarimah ta'zir harus sesuai
dengan prinsip syar'i (nas).
2.
IDENTIFIKASI MASALAH
Dalam makalah ini penulis mengupas :
1.
Definisi jinayat
2.
Islam menghormati kehormatan–kehoramatan kaum muslimin
3.
Haram bunuh diri
4.
Hal-hal yang membolehkan melakukan pembunuhan
5. Klasifikasi
pembunuhan
6.
Akibat hukum yang mesti diemban pelaku pembunuhan
7.
Syarat-syarat wajibnya hukum qishash
8.
Sekelompok diqsishash karena telah membunuh seorang
9. Jelasnya
pelaksanan hukum qishash
10. Syarat-syarat
penyempurnaan pelaksanaan qishash
11.
Teknis pelaksanaan hukum qishash
12.
Pelaksanaan hukum qishash menjadi wewenang hakim
13. Hukum
qishash selain balas bunuh
14.
Syarat-syarat qishash selain balasan akan pembunuhan
15.
Hukum qishash yang menimpa anggota tubuh
16. Diqishash
karena sengaja melukai orang lain
17. Pembunuhan
18. Qishash
19. Hikmah
qishash
20. Diyat
21. Kifarat
pembunuhan
3.
MANFAAT DAN TUJUAN
Untuk mengetahui tentang Hukum Pidana ( Qishash)
BAB II
PEMBAHASAN
1. DEFINISI JINAYAT
Secara bahasa kata jinaayaat adalah
bentuk jama’ dari kata jinaayah yang berasal dari janaa dzanba yajniihi
jinaayatan yang berarti melakukan dosa. Sekalipun isim mashbar (kata dasar),
kata jinaayah dijama’kan karena ia mencakup banyak jenis perbuatan dosa.
Kadang-kadang ia mengenai jiwa dan anggota badan, baik disengaja ataupun tidak.
(Subulus Salam III: 231).Menurut istilah syar’i, kata jinaayah berarti
menganiaya badan sehingga pelakunya wajib dijatuhi hukuman qishash atau
membayar diat. (Manarus Sabil II: 315)
2. ISLAM MENGHORMATI KEHORMATAN–KEHORAMATAN KAUM
MUSLIMIN
Allah swt berfirman:“…dan janganlah
kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu. Dan
barangsiapa berbuat demikian dengan melanggar hak dan aniaya, maka kami kelak
akan memasukkannya ke dalam neraka. yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.”
(QS An-Nisaa’: 29-30)
“Dan barangsiapa yang membunuh
seorang mukmin dengan sengaja maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di
dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab
yang besar baginya.” (QS An-Nisaa’: 93)
“Oleh Karena itu kami tetapkan
(suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: barangsiapa yang membunuh seorang
manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat
kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia
seluruhnya.” (QS Al-Maaidah: 32)
Dari Abu Hurairah ra bahwa
Rasulullah saw bersabda: “Hendaklah kalian menjauhi tujuh perkara yang
membinasakan.” Ada yang bertanya, “Ya Rasulullah, apa saja itu?” Jawab Beliau,
“(Pertama) menyekutukan Allah, (kedua) perbuatan sihir, (ketiga) membunuh jiwa
yang telah Allah haramkan (membunuhnya) kecuali dengan cara yang haq, (keempat)
makan harta benda anak yatim, (kelima) makan riba, (keenam) berpaling pada
waktu menyerang musuh (desersi), dan (ketujuh) menuduh (berzina)
perempuan-perempuan mukmin yang tidak tahu menahu (tentang itu).” (Muttafaqun
’alaih: Fathul Bari V: 393 no: 2766, Muslim I: 92 no: 89, ’Aunul Ma’bud VIII:
77 no: 2857 dan Nasa’i VI: 257).
Dari Abdullah bin Umar bin Khatthab
ra bahwa Rasulullah saw bersabda, “Bagi Allah lenyapnya dunia jauh lebih ringan
daripada membunuh seorang muslim.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir no: 5077,
Tirmidzi II: 426 no: 1414 dan Nasa’i VII: 82).
Dari Abu Sa’id al-Khudri dan Abu
Huraitah ra, dari Rasulullah saw, Beliau bersabda, “Andaikata segenap penghuni
langit dan penghuni bumi bersekongkol menumpahkan darah seorang mukmin, maka
niscaya Allah akan menjebloskan mereka ke dalam api neraka.” (Shahih: Shahihul
Jami’us Shaghir no: 5247 dan Tirmidzi II: 427 no: 1419).
Dari Abdullah bin Mas’ud ra bahwa
Nabi saw bersabda, “Perkara yang pertama kali diputuskan di antara manusia
(oleh Allah kelak) ialah kasus pembunuhan.” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari
XII: 187 no: 8664, Muslim III: 1304 no: 1418 dan Nasa’i VII: 83)
Darinya (Abdullah bin Mas’ud) ra
bahwa Rasulullah saw bersabda, “Ada seorang laki-laki datang dengan memegang
tangan laki-laki lain, lalu berkata, ‘Wahai Rabbku, orang ini telah berusaha
membunuhku.’ Kemudian Allah bertanya kepadanya, ‘Mengapa engkau berusaha
membunuhnya?’ Maka orang yang telah berusaha membunuhnya itu menjawab, ‘Aku
membunuhnya supaya kemuliaan menjadi milik-Mu semata.’ Kemudian Allah menjawab,
‘Maka (kalau begitu), itu untuk-Ku semata.’ Kemudian datang (lagi) seorang
laki-laki (lain) sambil memegang tangan laki-laki juga, lalu ia berkata,
‘(Wahai Rabbku), orang ini telah membunuhku.’ Lalu tanya Allah kepadanya,
‘Mengapa engkau membunuhnya?’ Jawabnya, ‘Supaya kemuliaan ini menjadi milik si
fulan.’ Maka firman Allah, ‘Sesungguhnya kemuliaan bukanlah milik si fulan.’
Maka laki-laki yang berusaha itu pulang dengan membawa dosanya.” (Shahih:
Shahih Nasa’i no: 3732 dan Nasa’i VII: 84).
3. HARAM BUNUH DIRI
Dari Abu Hurairah dari Nabi saw,
Beliau bersabda, “Barang siapa menjatuhkan diri dari atas gunung, yaitu ia
bunuh diri, maka pasti ia masuk neraka jahanam; ia dijebloskan ke dalamnya dan
kekal abadi selama-lamanya di dalamnya. Barangsiapa meneguk racun, yaitu bunuh
diri, maka racunnya berada di tangannya, ia meminumnya di dalam neraka Jahanam
kekal abadi selama-lamanya di dalamnya. Barangsiapa bunuh diri dengan pisau
tajam, maka pisau tajam tersebut berada di tangannya, yang dengannya ia menusuk
perutnya di dalam neraka Jahannam, kekal abadi selama-lamanya di dalamnya.”
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari X: 247 no: 5778, Muslim I: 103 no 109, Tirmidzi
III: 260 no: 2116, ‘Aunul Ma’bud X: 3855 hanya memuat kalimat yang ada masalah
racunnya saja, dan Nasa’i IV: 67).
Dari Jundab bin Abdullah ra, bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Adalah di antara orang-orang sebelum kamu ada seorang laki-laki
yang terluka. Ia putus asa, lantas mengambil sebilah pisau, lantas memotong
tangannya. Ternyata kemudian darahnya mengucur terus hingga tewas. Kemudian
Allah swt berfirman, ‘Ia terburu-buru bunuh diri, saya haramkan ia masuk
surga.’” (Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari VI: 496 no: 3463 dan Muslim I: 107 no:
113).
Dari Jabir ra bahwa Thufail bin Amr
ad-Dausi pernah datang kepada Nabi saw lalu berkata, “Ya Rasullah, apakah engkau
mempunyai benteng yang kokoh dan tangguh?” Rasullah saw bersabda. “Itu adalah
sebuah benteng milik (bani) Aus dalam masa jahiliyah.” Rasullah enggan
menjelaskan ihwal barang yang Allah swt simpan untuk kaum Anshar itu. Tatkala
Nabi saw berhijrah ke Madinah, Thufail bin Amr pun hijrah ke sana dan ia
ditemani salah seorang dari kaumnya. Ternyata di Madinah mereka tidak kerasan,
lantas sakit lalu ia (anak buahnya Thufail itu) putus asa. Kemudian mengambil
anak panah bermata lebar miliknya, lalu denganya ia memotong ruas jarinya,
kemudian mengalirlah darah dari kedua tangannya hingga ia tewas. Kemudian
Thufail bin Amr bermimpi melihatnya dalam penampilan yang menarik, dan dia
(Thufail) melihat ia menutup kedua tangannya. Kemudian dia bertanya kepadanya, “Apa
yang dilakukan Rabbmu terhadapmu?” Jawabnya, “Dia telah mengampuniku karena aku
berhijrah kepada Nabi-Nya saw.” Thufail bertanya, “Mengapa aku melihatmu (dalam
mimpi) menutup kedua tanganmu?” Dia menjawab: “Dikatakan kepadaku, ‘Kami tidak
akan sekali-kali memperbaiki apa yang telah kamu rusak.’” Kemudian Thufail
menyampaikan mimpi tersebut kepada Rasulullah saw, lantas Rasulullah saw
bersabda, “Ya Allah, ampunilah dosa-dosa pada kedua tangannya.” (Shahih:
Mukhtashar Muslim no: 97 dan Muslim I: 108 no: 116).
4. HAL-HAL YANG MEMBOLEHKAN MELAKUKAN PEMBUNUHAN
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa
yang telah Allah haramkan (membunuhnya), kecuali dengan cara yang haq.” (QS
Al-Israa’: 33)
Dari Ibnu Umar ra bahwa Rasulullah
saw bersabda, “Aku diperintah (oleh Allah) memerangi orang-orang hingga mereka
(mau) bersaksi bahwa tiada Ilah (yang layak diibadahi) kecuali Allah dan bahwa
Muhammad adalah Rasul-Nya, dan (mau) menegakkan sholat serta menunaikan zakat.
Jika mereka melaksanakan itu (semua), maka darah dan harta benda mereka
terpelihara dari kami kecuali dengan hak Islam, sedangkan perhitungan mereka
sepenuhnya di tangan Allah.” (Muttafaqun’alaih: Fathul Bari I: 75 no: 25 dan
Muslim I: 53 no: 22)
“Cara yang haq” yang kita dibenarkan
melalui pembunuhan dalam ayat diatas dijelaskan oleh Rasulullah saw dengan
sabdanya:
“Tidak halal darah seorang muslim
yang telah bersaksi bahwa tidak ada Ilah (yang patut diibadahi) kecuali Allah
swt dan bahwa aku adalah Rasul-Nya, melainkan dengan salah satu dari tiga hal:
(pertama) jiwa (dibalas) dengan jiwa, (kedua) orang yang pernah menikah
kemudian berzina, dan (ketiga) orang yang keluar dari agamanya dan meninggalkan
jama’ah (kaum muslimin),”(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 201 no: 201 no:
6878, Muslim III: 1302 no: 1676, ‘Aunul Ma’bud XII: 5 no: 4330, Tirmidzi II:
429 no: 1423, Nasa’i VII: 90 dan Ibnu Majah II: 847 no: 2534).
5. KLASIFIKASI PEMBUNUHAN
Pembunuhan terbagi tiga: pembunuhan
dengan sengaja, pembunuhan yang mirip dengan sengaja, dan ketiga pembunuhan
karena keliru.
Yang dimaksud pembunuhan dengan
sengaja ialah seorang mukalaf secara sengaja (dan terencana) membunuh orang
yang terlindungi darahnya (tak bersalah), dengan dasar dugaan kuat bahwa dia
harus dibunuh olehnya.
Adapun yang dimakasud syibhul ’amdi
(pembunuhan yang mirip dengan sengaja) ialah seorang mukallaf bermaksud tidak
memukulnya, yang secara kebiasaan tidak dimaksudkan hendak membunuhnya, namun
ternyata oknum yang jadi korban meninggal dunia.
Sedangkan yang dimaksud pembunuh
karena kelliru ialah seorang mukallaf melakukan perbuatan yang mubah baginya,
seperti memanah binatang buruan atau semisalnya, ternyata anak panahnya nyasar
mengenai orang hingga meninggal dunia.
6. AKIBAT HUKUM YANG MESTI DIEMBAN PELAKU PEMBUNUHAN
Untuk jenis pembunuhan yang kedua
dan ketiga, maka pelakunya dikenakan hukuman harus membayar kafarah dan harus
membayar diat bagi keluarga si pembunuh. Allah swt berfirman;
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (iidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisaa’: 92)
“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (iidak sengaja), dan barangsiapa membunuh seorang mukmin Karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah[336]. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. barangsiapa yang tidak memperolehnya[337], Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan Taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (QS An-Nisaa’: 92)
Adapun untuk pembunuhan yang
disengaja dan terencana, maka pihak wali dari terbunuh diberi dua alternatif,
yaitu menuntut hukum qishash, atau memaafkan dengan mendapat imbalan diat.
Allah swt berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman,
diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang
memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf)
membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). yang
demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat.
Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat
pedih.” (QS Al-Baqarah: 178).
Dari Abu Hurairah ra dari Nabi saw,
Beliau bersabda, “Barang siapa yang dibunuh dan ia mempunyai keluarga, maka
(pihak keluarganya) memilliki dua alternatif: boleh menuntut diat, boleh
menuntut qhisash.” (Muttafaqun’alai: Fathul Bri XII; 205 dan Muslim II: 988 no:
1355).
Diat wajib ini sebagai ganti dari
qishash. Oleh sebab itu, pihak keluarga terbunuh boleh berdamai dengan si
pembunuh dengan jalan meenuntut selain diat, walaupun nilainya lebih besar
daripada diat. Hal ini didasrkan pada sabda Nabi saw:
“Barangsiapa yang membunuh (orang
tak bersalah) secara sengaja (dan terencana), maka urusannya kepada pihak
keluarga si terbunuh. Jika mereka mau, menuntut hukum balas membunuh; dan jika
mau, mereka menuntut diat, yaitu (membayar) tiga puluh hiqqah (onta betina
berusia tiga tahun yang masuk tahun keempat) dan tiga puluh jadza’ah (onta yang
masuk tahun kelima) serta empat puluh khalifah (onta yang sedang bunting) dan,
apa saja yang mereka tuntut kepadasi pembunuh sebagai imbalan perdamaian, maka
ia (imbalan itu) untuk mereka, dan yang demikian itu untuk penekanan pada
diat.” (Hasan: Shahih Tirmidzi no: 1121 dan Tirmidzi II: 423 no: 1406 dan Ibnu
Majah II: 887 no: 2626).
Namun mema’afkan secara cuma-cuma,
tanpa menuntut apa-apa kepada si pembunuh adalah sikap yang amat sangat utama
lagi mulia. Firman-Nya:
“Dan pemaafan kamu itu lebih dekat
kepada takwa.” (QS Al-Baqarah: 237)
Nabi saw bersabda:
“Dan, Allah tidak menambah pada
seorang karena pemaafannya, melainkan kemuliaan.” (Shahih: Shahih Tirmidzi no:
1894, Muslim IV: 2001 no: 2588 dan Tirmidzi III: 254: 2098)
7. SYARAT-SYARAT WAJIBNYA HUKUM QISHASH
Hukum qishash tidak boleh
dilaksanakan, kecuali telah memenuhi beberapa syarat berikut ini:
1. Si pembunuh
haruslah orang mukallaf (aqil baligh), sehingga anak kecil, orang gila dan
orang yang tidur tidak terkena hukum qishash. Nabi saw bersabda:
“Diangkat pena dari tiga golongan:
(Pertama) dari anak kecil hingga baligh, (kedua) dari orang tidak waras
pikirannya hingga sadar (sehat), dan (ketiga) dari orang yang tidur hingga
jaga.” (Shahih: Shahihul ‘Jami’us Shaghir no: 3512).
2. Orang yang
terbunuh adalah orang yang terlindungi darahnya, yaitu bukan orang yang
darahnya terancam dengan salah satu sebab yang disebutkan dalam hadist Nabi
saw:
“Tidak halal darah seorang muslim
kecuali dengan satu di antara tiga … dst.” (Shahih: Shahihul Jami’us Shaghir
no: 7641).
3. Hendaknya si terbunuh bukanlah anak si
pembunuh, karena ada hadist Nabi saw:
“Seorang ayah tidak boleh dibunuh
karena telah membunuh anaknya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2214, Tirmidzi II:
428 no: 1422 dan Ibnu Majah II: 888 no: 2661).
4. Hendaknya si
korban bukanlah orang kafir, sedangkan si pembunuh orang muslim. Nabi saw
bersabda:
“Orang muslim tidak boleh dibunuh
karena telah (membunuh) orang kafir.” (Hasan Shahih: Shahih Tirmidzi no: 1141,
Fathul Bari XII: 260 no: 6915, Tirmidzi II: 432 no: 1433 dan Nasa’i VIII: 23).
5. Hendaknya
yang terbunuh bukan seorang hamba sahaya, sedang si pembunuh orang merdeka.
Al-Hasan berkata:
“Orang merdeka tidak boleh dibunuh
karena (telah membunuh) seorang budak.” (Shahih Maqthu’: Shahih Abu Daud no:
3787, ‘Aunul Ma’bud XII: 238 no: 4494).
Ini adalah madzhab jumhur ulama’,
mereka dengan banyak dalil yang kesemuanya tidak lepas dari pembicaraan. Syaikh
Asy-Syinqithi rhm, dalam kitab Adhwa-ul Bayan menyebutkan dalil-dalil tersebut,
kemudian beliau berkata:
“Riwayat-riwayat ini banyak,
meskipun masing-masing darinya tidak lepas dari pembicaraan, namun sebagiannya
memperkokoh sebagian yang lain dan saling menguatkan sehingga kesemuanya pantas
dan boleh dijadikan hujjah. Dalil-dalil ini menetapkan bahwa orang merdeka
tidak boleh dibunuh karena telah membunuh hamba sahaya. Mereka sepakat tidak
ada hak menuntut qishash bagi hamba sahaya yang dianiaya oleh orang merdeka.
Jika tidak ada tuntutan qishash pada
sebagian anggota badan, maka sudah barang tentu tidak ada qishash dalam kasus
pembunuhan dan tidak ada yang menentang ketetapan ini, kecuali Daud (Az-Zhain)
dan Ibnu Ali Laila. Dalil-dalil itu juga menjadi hujjah atas para ulama’ yang
berpendapat dalam kasus pembunuhan (oleh orang merdeka terhadap budak) karena
tersalah, tidak disengaja, hanya ada kewajiban membayar qimah (sesuatu yang
senilai), bukan diat. Namun sekelompok ulama’ membatasi manakala qimahnya tidak
sampai melebihi diat orang merdeka.
Dalil-dalil itu juga memutuskan
bahwa kalu seorang merdeka menuduh hamba sahaya berbuat zina, maka ia (orang
merdeka itu) tidak wajib dijatuhi hukum had menurut mayoritas ulama’, kecuali
riwayat dari Ibnu Umar al-Hasan dan kelompok Zhahiriyah yang mewajibkan hukum
had atas orang yang menuduh ummul berzina (secara khusus) tuduhan itu kepada
ummul walad.”
8. SEKELOMPOK DIQSISHASH KARENA TELAH MEMBUNUH SEORANG
Apabila ada sekelompok orang sepakat
membunuh satu orang, maka mereka semua dibunuh juga. Ini berpijak pada riwayat
Imam Malik:
Dari Sa’id bin Musayyab bahwa Umar
bin Khathab ra pernah membunuh sekelompok orang, yaitu lima atau tujuh orang
karena telah membunuh seorang laki-laki dengan pembunuhan secara tipu daya (yaitu
membujuk korban hingga mau keluar ke tempat yang sepi lalu dibunuh), dan dia
berkata, ‘Andaikata penduduk negeri Shan’a bersekongkol membunuhnya, niscaya
kubunuh mereka semuanya.’” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2201, Muwaththa’ Malik
hal. 628 no: 1584, asy-Syafi’i dalam al-Umm VI: 22 dan Baihaqi VIII: 41).
9. JELASNYA PELAKSANAN HUKUM QISHASH
Hukum qishash bisa menjadi jelas
dilaksanakan dengan salah satu dari dua hal berikut:
1. Pengakuan dari pelaku
Dari Anas ra, bahwa ada seorang
Yahudi menumbuk kepala seorang budak perempuan di antara dua batu. Lalu ia
(budak itu) ditanya, “Siapa yang berbuat begini kepadamu? si A atau si B?”
Hingga disebutlah nama orang Yahudi itu, lalu dia menganggukkan kepalanya.
Kemudian didatangkanlah orang Yahudi itu, lalu (setelah ditanya) dia mengaku.
Kemudian Nabi saw menyuruh agar kepala Yahudi itu ditumbuk dengan batu (juga).
(Muttafaqun ’alaih: Fathul Bari XII: 198 no: 6876, Muslim III: 1413, Nasa’i
VIII: 22 dan Ibnu Majjah II: 889 no: 2666).
2. Kesaksian dua orang laki-laki yang adil
Dari Rafi’ bin Khadif ra berkata:
“Pada suatu pagi ada seorang laki-laki dari kaum Anshar terbunuh di daerah
Khaibar, lalu berangkatlah keluarganya menemui Nabi saw lantas mereka
menyampaikan kasus pembunuhan tersebut kepada Beliau. Kemudian Beliau bersabda,
“Apakah kelian memiliki dua laki-laki yang menyaksikan proses pembunuhan
saudaramu itu?” Jawab mereka, “Ya Rasulullah, di sana tak ada seorang pun dari
kaum muslimin. Mereka hanyalah kaum Yahudi dan tidak jarang mereka ini melakukan
penganiayaan lebih kejam daripada ini.” Beliau bersabda, “Kalau begitu,
pilihlah lima puluh di antara mereka, kemudian ambillah sumpah mereka.” Namun
mereka menolak. Kemudian Nabi saw membayar diat kepada ahli kurban dari
kantongnya sendiri.” (Shahih Lighairihi: Shahih Abu Daud no: 3793 dan ‘Aunul
Ma’bud XII: 250 no: 4501)
10. SYARAT-SYARAT PENYEMPURNAAN PELAKSANAAN QISHASH
Demi kesempurnaan qishash ada tiga
syarat yang mesti dipenuhi:
1.
Ahli waris si kurban harus mukallaf. Jika ahli
warisnya masih belum dewasa atau gila, maka si pembunuh harus dipenjara hingga
ahli warisnya itu mukallaf.
2.
Pihak keluarga korban sepakat menuntut hukum qishash,
karena itu manakala ada sebagian di antara mereka yang mema’afkan secara
gratis, maka gugurlah hukum qishash dari si pembunuh.
Dari Zaid bin Wahab, bahwa Umar ra
pernah diajukan kepadanya seorang laki-laki yang telah membunuh laki-laki lain.
Kemudian keluarga si terbunuh menghendaki qishash, maka ada saudara perempuan
si terbunuh –dan ia adalah isteri si pembunuh
berkata–, “Sungguh bagianku saya maafkan kepada suamiku.” Kemudian Umar
berkata, “Hendaklah laki-laki yang membunuh itu memerdekakan budak sebagai
sanksi dari pembunuhannya.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2222 dan X: 18188)
Darinya (Zaid bin Wahab), ia
berkata, “Ada seorang suami mendapati
laki-laki lain berduaan dengan isterinya, kemudian dia bunuh isterinya. Kemudian
kasus tersebut diajukan kepada Umar bin Khatab ra lalu dia mendapati sebagian
saudara isterinya berada di sana, kemudian ia (saudara isterinya itu)
menshadaqahkan bagiannya kepadanya (si pembunuh). Kemudian Umar ra menyuruh (si
pembunuh) membayar diat kepada mereka semua.” (Shahih: Irwa-ul Ghalil no: 2225
dan Baihaqi VIII: 59)
3.
Pelaksanaan hukuman tidak boleh merembet kepada pihak
yang tidak bersalah. Oleh karena itu, hukum qishash yang wajib dijatuhkan
kepada seorang perempuan yang hamil, maka ia tidak boleh dibunuh sebelum
melahirkan kandungannya, dan sebelum menyusuinya pada awal penyusuannya.
Yaitu penyusuan pertama kali,
penyusuan ini amat sangat penting bagi kesehatan sang bayi, sedangkan
melaksanakan hukum qishash pada seorang ibu sebelum menyusuinya (penyusuan
pertama), sangat membahayakan si bayi. Kemudian manakala setelah penyusuan
pertama itu ada orang yang bersedia menyusuinya, maka serahkanlah kepadanya,
lantas sang ibu harus diqishash. Ini sesuai dengan hadist Imam Muslim. Jika
ternyata tidak didapati ibu yang siap menyusuinya, maka ibu itu dibiarkan
supaya menyusui anaknya dua tahun. Ini sesuai dengan hadist berikut:
Dari Abdullah bin Buraidah dari
bapaknya ra bahwa ada seorang perempuan al-Ghamidiyah berkata kepada Nabi saw,
“(Ya Rasulullah), sesungguhnya saya telah berbuat sebuah kejahatan.” Sabda
Beliau, “Kembalilah!” Lalu ia kembali (pulang). Kemudian pada esok harinya, ia
datang (lagi) lalu berkata, “(Ya Rasulullah), barangkali engkau menolakku
sebagaimana halnya engkau pernah menolak Ma’iz bin Malik? Demi Allah,
sesungguhnya saya benar-benar telah hamil.” Sabda Beliau kepadanya,
“Kembalilah!” Kemudian ia kembali pulang, kemudian pada esok harinya, ia datang
(lagi) kepada Beliau, lalu Beliau bersabda kepadanya, “Kembalilah kau hingga kamu
melahirkan!” Maka kembalilah sang perempuan, kemudian tatkala ia sudah
melahirkan, ia datang lagi menemui Beliau dengan membawa bayinya, lantas
berkata, “(Ya Rasulullah), ini bayi yang saya lahirkan.” Kemudian Beliau
bersabda kepadanya, “Pulanglah dan susuilah bayimu itu hingga engkau
menyapihnya.” Kemudian ia datang (lagi) dengan anak kecilnya yang sudah
disapih, sementara di tangannya ada makanan yang dimakannya. Kemudian
Rasulullah saw menyuruh agar anak kecil itu diserahkan kepada seorang sahabat
yang hadir kala itu, lantas Beliau menyuruh shahabat menggali lubang untuk sang
perempuan itu, lalu dirajam. Dan, adalah Khalid salah seorang yang merajamnya
dengan batu, lalu dia (Khalid) mendapatkan percikan darahnya mengenai pipinya,
lalu ia pun mengumpat dan mencacinya. Maka Nabi saw bersabda kepadanya, “Ya
Khalid, tenanglah! (jangan emosi), demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya,
sungguh ia benar-benar telah bertaubat, yang andaikata taubat tersebut
dilakukan oleh seorang yang banyak memungut pajak-pajak liar niscaya diampuni
dosa-dosanya.” Dan Rasulullah menyuruh (para sahabat mengurus jenazahnya), lalu
jenazah wanita disholatkan, kemudian dikubur. (Shahih: Shahih Abu Daud no:
3733, Muslim III: 1321 no: 1695, Aunul Ma’bud XII: 123 no: 14419 dan redaksi hadist
bagi Imam Abu Daud).
11. TEKNIS PELAKSANAAN HUKUM QISHASH
Prinsip pelaksanaan hukum qishash,
si pembunuh harus dibunuh sebagaimana cara ia membunuh, karena hal ini
merupakan hukuman yang setimpal dan sepadan. Allah swt menegaskan:
“Oleh sebab itu, barangsiapa
menyerang kamu, maka seranglah ia, seimbang dengan serangannya terhadapmu.” (QS
Al-Baqarah: 194)
“Dan jika kamu memberikan balasan,
maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan
kepadamu.” (QS An-Nahl: 126)
Di samping itu, Rasulullah saw
pernah melempar dengan batu kepala orang Yahudi sebagaimana orang termaksud
melempar dengan batu kepala seorang perempuan.
12. PELAKSANAAN HUKUM QISHASH MENJADI WEWENANG HAKIM
Musafir (pakar tafsir) kenamaan,
al-Qurthubi mengatakan, “Tiada khilaf di kalangan ulama’ bahwa yang berwenang
melaksanakan hukum qishash, khususnya balas bunuh, adalah pihak penguasa.
Mereka inilah yang berwenang melaksanakan hukum qishash dan hukum had dan yang
semisalnya, karena Allah swt menuntut segenap kaum Mukminin untuk melaksanakan
qishash, kemudian ternyata mereka semua tidak sanggup untuk berkumpul
melaskanakan hukum qishash maka mereka mengangkat penguasa (hakim) sebagai wali
dari mereka dalam melaksanakan hukum qishash dan lain-lainnya yang termasuk
hukum had.” (Al-Jami’ Li-ahkamil Qur-an II: 245 – 246).
Sebab yang demikian itu disebutkan
oleh ash-Shawi dalam Hasyiyahnya atas tafsir al-Jalalain. Dia menulis sebagai
berikut, “Manakala telah tetap bahwasanya pembunuhan yang dilakukan dengan
sengaja sebagai sebuah permusuhan, maka wajib atas hakim syar’i untuk memberi
wewenang untuk wali si terbunuh terhadap si pembunuh. Lalu pihak hakim
melaksanakan kebijakan yang dituntut oleh wali (keluarga) si terbunuh terhadap
si pembunuh, yaitu balas bunuh, atau memaafkan, atau menuntut diat. Dan wali
(keluarga) si terbunuh tidak boleh bertindak terhadap si pembunuh sebelum
mendapat izin resmi dari hakim. Karena dalam hal ini terdapat kerusakan dan
pengrusakan terhadap wewenang hakim. Oleh sebab itu, manakala pihak wali (keluarga)
si terbunuh membunuh si pembunuh sebelum mendapat izin dari penguasa, maka
pelakunya harus dijatuhi hukuman ta’zir (hukuman yang berdasar kebijakan
hakim’.” (Fiqhus Sunnah II: 453).
13. HUKUM QISHASH SELAIN BALAS BUNUH
Sebagaimana telah berlaku secara sah
hukum qishash berupa balas bunuh, maka begitu juga berlaku secara sah hukum
yang tidak sampai pada pembunuhan. Allah swt berfirman:
“Dan kami telah tetapkan terhadap
mereka di dalamnya (at-Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan
mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka
(pun) ada qishashnya.” (QS Al-Maaidah: 45)
Meskipun hukum ini telah diwajibkan
pada ummat sebelum kita, sehingga ia menjadi syar’un man-qablana (syariat yang
pernah dibelakukan pada umat sebelum kita), namun ia merupakan syariat bagi
kita pula karena diakui atau ditetapkan oleh Nabi saw. Imam Bukhari dan Imam
Muslim meriwayatkan sebagai berikut:
Dari Anas bin Malik ra bahwa
Rubayyi’ binti an-Nadhr bin Anas ra telah memcahkan gigi seri seorang budak
perempuan, kemudian mereka (keluarga Rubayyi’) bersikeras untuk membayar diat
kepada mereka (keluarga si budak), lalu mereka (keluarga si budak), lalu mereka
(keluarga si budak) tidak mau menerima melainkan qishash. Maka datanglah saudara
Rubayyi’, Anas bin Nadhr, lalu bekata, “Ya rasulullah, engkau akan memecahkan
gigi seri Rubayyi’! Demi Dzat yang telah mengutusmu dengan membawa yang haq,
janganlah engkau memecahkannya”. Kemudian Beliau bersabda, “Wahai Anas, menurut
ketetapan Allah swt (harus) qishash.” Kemudian mereka pada ridha dan memaafkan
(Rubayyi’). Kemudian Rasulullah saw bersabda, “Sesungguhnya di antara
hamba-hamba Allah swt ada yang kalau bersumpah atas nama Allah swt pasti
melaksanakannya.” (Shahih: Shahihhul Jami’us Shaghir no: 2228, Fathul Bari V:
306 no: 2703, ‘Aunul Ma’bud XII: 333 no: 4566, Nasa’i VIII no: 27 dan Ibnu
Majah II: 884 no: 2649).
14. SYARAT-SYARAT QISHASH SELAIN BALASAN AKAN
PEMBUNUHAN
Untuk Qishash yang selain balas
bunuh ditetapkan syarat-syarat berikut:
1.
Yang melaksanakan penganiayaan harus sudah mukallaf
2.
Sengaja melakukan jinayat, tindak penganiayaan. Karena
pembunuhan yang bersifat keliru, tidak disengaja, pada asalnya tidak memastikan
si pembunuh harus dituntut balas bunuh. Demikian pula halnya tindak pidana yang
lebih ringan daripadanya.
3.
Hendaknya status si penganiaya dengan yang teraniaya
sama. Oleh karena itu, seorang muslim yang melukai kafir dzimmi tidak boleh
diqishash, demikian pula dengan orang merdeka yang melukai hamba sahaya, dan
seorang ayah yang melukai anaknya.
15. HUKUM QISHASH YANG MENIMPA ANGGOTA TUBUH
Untuk melaksanakan hukum qishash
yang menimpa bagian anggota tubuh ada tiga syarat yang harus dipenuhi:
1. Memungkinkan
pelaksanaan qishash ini berjalan secara adil dan tidak melahirkan penganiayaan
baru. Misalnya memotong persendian siku, pergelangan tangan, atau kedua sisi
hidung yang lentur, bukan tulangnya. Maka tidak ada qishash pada tubuh bagian
dalam, tidak pula pada tengah lengan dan tidak pula pada tulang yang terletak
di bawah gigi (tulang rahang).
2. Nama dan
letak anggota tubuhnya sama. Karenanya, bagian anggota yang kanan tidak boleh
dibalas dengan bagian anggota badan yang kiri, bagian anggota tubuh yang kiri
tidak boleh dengan yang kanan, jari kelingking tidak boleh dengan jari manis,
dan tidak pula sebaliknya karena tidak sama dalam hal nama, dan tidak pula
bagian anggota tubuh yang asli dibalas dengan yang tambahan (melalui proses
operasi) karena tidak sama dalam letak dan daya manfaatnya.
3. Kondisi
bagian anggota tubuh si penganiaya harus sama dengan yang teraniaya dalam hal
kesehatan dan kesempurnaan. Oleh sebab itu, tidak boleh anggota tubuh yang
sehat dibalas dengan yang berpenyakit dan tidak pula tangan yang sehat lagi
sempurna dibalas dengan tangan yang kurang jari-jarinya: namun boleh
sebaliknya.
16. DIQISHASH KARENA SENGAJA MELUKAI ORANG LAIN
Adapun kasus melukai orang lain
secara sengaja, maka dalam kasus tersebut tidak wajib diqishash, kecuali
pelaksanaannya sangat memungkinkan, yaitu sekiranya bisa melukai si penganiaya sama
dengan luka yang diderita si korban, tanpa ada kelebihan dan pengurangan.
Karenanya, apabila pelaksanan qishash ini tidak mungkin menghasilkan luka yang
sama dan sepadan, melainkan mesti kadar ukurannya lebih, atau dapat
membahayakan si penganiaya, atau justru membahayakan orang yang dijatuhi
qishash ini, maka dalam hal ini tidak wajib diqishash, akan tetapi wajib
membayar diat kepada si teraniaya.
22. PEMBUNUHAN
Macam-macam
pembunuhan dan hukumnya :
Pembunuhan
ada 3 macam (1) Pembunuhan yang disengaja (Qatlul ‘amad); (2) Pembunuhan yang
tidak disengaja (Qatlul syibhul ‘amad); dan (3) Pembunuhan yang tidak ada unsur
membunuh (Qatlul Khatha’)
1. Pembunuhan yang disengaja (Qatlul ‘Amad)
Ialah
pembunuhan yang direncanakan, dengan cara dan alat yang bisa (biasa) mematikan.
Seperti :
· Membunuh dengan ; menembak, melukai dengan alat yang tajam, memukul
dengan alat-alat yang berat, dan alat-alat yang lain.
· Membunuh dengan ; memasukkan dalam sel yang tidak ada udaranya, disekap
dalam es dll.
· Membunuh dengan ; diberi racun, diberi obat yang tidak sesuai, disuntik
dengan obat yang bisa mematikan.
· Membunuh dengan ; dibiarkan tidak diberi makan, minum dll.
Pembunuhan
yang disengaja tersebut wajib diqishash, sebagaimana firman Allah QS. An Nisaa:
93 dan dipertegas dengan hadits rasulullah, ‘’Tidak halal (haram) membunuh
orang muslim, kecualiada (salah satu) 3 sebab : kafir sesudah iman, berzina
sesudah kawin dan membunuh oran g tanpa hak, baik karena dhalim dan permusuhan.
(HR. Tirmidzy dan Nasaâ’i)
Orang yangmembunuh
tanpa ada hak, harus diqishash, harus dibunuh juga. Kalau ahli waris (yang
terbunuh) memaafkan pembunuhan tersebut, pembunuhan tidak diqishash (dihukum
bunuh) tetapi harus membayar diyah yang besar, yaitu harus membayar dengan
seharga 100 ekor unta tunai, pada waktu itu juga. Hal ini selaras dengan hadits
rasulullah, ‘Barang siapa yang membunuh dengan sengaja, maka ia diserahkan pada
keluarga terbunuh. Apabila mereka mengkehendaki maka membunuhnya atau minta
diyah dengan 30 ekor unta hiqqah, 30ekor unta jadzaâ’ah dan 40 ekor unta
khalafah (jumlahnya 100 ekor unta). Hasil perdamaian itu untuk mereka (ahli
waris si terbunuh). Demikian itu untuk memperkeras terhadap pembunuhan. (HR.
Tirmidzi)
2. Pembunuhan tidak sengaja (Qatlul syibhul ’amad)
Pembunuhan
tidak sengaja ialah perbuatan terhadap diri seseorang dengan alat atau sesuatu
yang biasanya tidak mematikan. Tetapi seseorang itu mati karena perbuatan atau
tindakannya. Contoh orang memukul oran g lain dengan sapu lidi kemudian yang
dipukul mati.
Pembunuhan
tidak sengaja tidak kena hukuman qishash tetapi pembunuhnya harus membayar
diyat besar, sebagaimana diyat bagi pembunuh sengaja yang dimaafkan ahli waris
terbunuh. Diyat itu boleh dibayar selama 3 tahun dengan angsuran setiap tahun
1/3-nya.
3. Pembunuhan tidak ada unsur membunuh (Qatlul Khathaâ’)
Pembunuhan
yang tidak ada unsur membunuh ialah perbuatan yang tidak ditujukan kepada
seseorang tetapi seseorang mati karena perbuatannya. Misalnya orang melempar
batu ke hutan tiba-tiba oran g mati terkena batu tersebut.
Orang
membunuh orang lain tidak sengaja wajib memerdekakan seorang budak mu’min adil
18. QISHASH
1. Pengertian Qishash
Menurut
syaraâ’ qishash ialah pembalasan yang serupa dengan perbuatan pembunuhan
melukai merusakkan anggota badan/menghilangkan manfaatnya, sesuai
pelangarannya.
2. Qishash ada 2 macam :
a. Qishash jiwa, yaitu hukum bunuh bagi tindak pidana pembunuhan.
b. Qishash anggota badan, yakni hukum qishash atau tindak pidana melukai,
merusakkan anggota badan, atau menghilangkan manfaat anggota badan.
3. Syarat-syarat Qishash
a. Pembunuh sudah baligh dan berakal (mukallaf). Tidak wajib qishash bagi
anak kecil atau orang gila, sebab mereka belum dan tidak berdosa.
b. Pembunuh bukan bapak dari yang terbunuh. Tidak wajib qishash bapak yang
membunuh anaknya. Tetapi wajib qishash bila anak membunuh bapaknya.
c. Oran g yang dibunuh sama derajatnya, Islam sama Islam, merdeka dengan
merdeka, perempuan dengan perempuan, dan budak dengan budak.
d. Qishash dilakukan dalam hal yang sama, jiwa dengan jiwa, anggota dengan
anggota, seperti mata dengan mata, telinga dengan telinga.
e. Qishash itu dilakukan dengn jenis barang yang telah digunakan oleh yang
membunuh atau yang melukai itu.
f. Oran g yang terbunuh itu berhak dilindungi jiwanya, kecuali jiwa oran g
kafir, pezina mukhshan, dan pembunuh tanpa hak. Hal ini selaras hadits
rasulullah, ‘Tidakklah boleh membunuh seseorang kecuali karena salah satu dari
tiga sebab: kafir setelah beriman, berzina dan membunuh tidak dijalan yang
benar/aniaya’ (HR. Turmudzi dan Nasaâ’)
4. Pembunuhan olah massa / kelompok orang
Sekelompok
oran g yang membunuh seorang harus diqishash, dibunuh semua..
5. Qishash anggota badan
Semua
anggota tubuh ada qishashnya. Hal ini selaras dengan firman-Nya, ‘Dan kami telah
tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas)
dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga,
gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. barangsiapa yang melepaskan
(hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya.
barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka
mereka itu adalah orang-orang yang zalim.’ (QS. Al-Maidah : 45)
19. HIKMAH QISHASH
Hikmah
qishash ialah supaya terpelihara jiwa dari gangguan pembunuh. Apabila sesorang
mengetahui bahwa dirinya akan dibunuh juga. Karena akibat perbuatan membunuh
oran g, tentu ia takut membunuh oran g lain. Dengan demikian terpeliharalah
jiwa dari terbunuh. Terpeliharalah manusia dari bunuh-membunuh.
Ringkasnya,
menjatuhkan hukum yang sebanding dan setimpal itu, memeliharakan hidup
masyarakat: dan Al-Quran tiada menamai hokum yang dijatuhkan atas pembunuh itu,
dengan nama hukum mati atau hukum gantung, atau hukum bunuh, hanya menamai
hukum setimpal dan sebanding dengan kesalahan. Operasi pemberantasan kejahatan
yang dilakukan pemerintah menjadi bukti betapa tinggi dan benarnya ajaran islam
terutama yang berkenaan hukum qishash atau hukum pidana Islam.
20. DIYAT
1. Pengertian Diat
Diyat ialah
denda pengganti jiwa yang tidak berlaku atau tidak dilakukan padanya hukuman
bunuh.
a. Bila wali atau ahli waris terbunuh memaafkan yang membunuh dari
pembalasan jiwa.
b. Pembunuh yang tidak sengaja
c. Pembunuh yang tidak ada unsur membunuh.
2. Macam-macam diyat
Diyat ada
dua macam :
a. Diyat Mughalazhah, yakni denda berat
Diyat
Mughalazhah ialah denda yang diwajibkan atas pembunuhan sengaja jika ahli waris
memaafkan dari pembalasan jiwa serta denda aas pembunuhan tidak sengaja dan
denda atas pembunuhan yang tidak ada unsur-unsur membunuh yang dilakukan
dibulan haram, ditempat haram serta pembunuhan atas diri seseorang yang masih
ada hubungan kekeluargaan. Ada pun jumlah diat mughallazhah ialah : 100 ekor
unta terdiri 30 ekor unta berumur 3 tahun, 30 ekor unta berumur 4 tahun serta
40 ekor unta berumur 5 tahun (yang sedang hamil).
Diat
Mughallazah ialah :
· Pembunuhan sengaja yaitu ahli waris memaafkan dari pembalasan jiwa.
· Pembunuhan tidak sengaja / serupa
· Pembunuhan di bulan haram yaitu bulan Zulqaidah, Zulhijjah, Muharram dan
Rajab.
· Pembunuhan di kota haram atau Mekkah.
· Pembunuhan orang yang masih mempunyai hubungan kekeluargaanseperti
Muhrim, Radhâ’ah atau Mushaharah.
· Pembunuhan tersalahdengan tongkat, cambuk dsb.
· Pemotongan atau membuat cacat angota badan tertentu.
b. Diyat Mukhaffafah, yakni denda ringan.
Diyat
Mukhoffafah diwajibkan atas pembunuhan tersalah. Jumlah dendanya 100 ekor unta
terdiri dari 20 ekor unta beurumur 3 tahun, 20 ekor unta berumur 4 tahun, 20
ekor unta betina berumur 2 tahun, 20 ekor unta jantan berumur 2 tahun dan 20
ekor unta betina umur 1 tahun.
Diyat
Mukhoffafah dapat pula diganti uang atau lainya seharga unta tersebut. Diat
Mukhoffafah adalah sebagai berikut :
· Pembunuhan yang tersalah.
· Pembunuhan karena kesalahan obat bagi dokter.
· Pemotongan atau membuat cacat serta melukai anggota badan.
3. Ketentuan-ketentuan lain mengenai diat :
a. Masa pembayaran diyat, bagi pembunuhan sengaja dibayar tunai waktu itu
juga. Sedangkan pembunuhan tidak sengaja atau karena tersalah dibayar selama 3
tahun dan tiap tahun sepertiga.
b. Diyat wanita separo laki-laki.
c. Diyat kafir dhimmi dan muâ’hid separo diat muslimin.
d. Diyat Yahudi dan Nasrani sepertiga diat oran g Islam.
e. Diyat hamba separo diat oran g merdeka.
f. Diyat janin, sepersepuluh diat ibunya, 5 ekor unta.
4. Diyat anggota badan :
Pemotongan,
menghilangkan fungsi, membuat cacad atau melukai anggota badan dikenakan diyat
berikut :
Pertama :
Diyat 100 (seratus) ekor unta. Diat ini untuk anggota badan berikut :
a. Bagi anggota badan yang berpasangan (kiri dan kanan) jika keduan-duanya
potong atau rusak, yaitu kedua mata, kedua telinga, kedua tangan, kedua kaki,
kedua bibir (atas bawah) dan kedua belah buah zakar.
b. Bagi anggota badan yang tunggal, seperti : hidung, lidah, dll..
c. Bagi tulang sulbi ( tulang tempat keluar air mani laki-laki)
Kedua :
Diyat 50 ekor unta. Diyat ini untuk anggota badan yang berpasangan, jika salah
satu dari keduanya ( kanan dan kiri) terpotong.
Ketiga :
Diat 33 ekor unta ( sepertiga dari diatyang sempurna). Diyat ini terhadap :
a. Luka kepala sampai otak
b. Luka badan sampai perut
c. Sebelah tangan yang sakit kusta
d. Gigi-gigi yang hitam
Gigi satu
bernilai 5 ekor unta. Kalau seseorang meruntuhkan satu gigi orang lain harus
membayar dengan 5 ekor unta. Kalau meruntuhkan 2, harus membayar 10 ekor.
Bagaimana kalau seseorang meruntuhkan semua gigiorang lain, apakah harus
membayar 5 ekor unta kali jumlah gigi tersebut ? Ulama berbeda pendapat.
Sebagian berpendapat : cukup membayar diyat 60 ekor unta (dewasa). Ulama lain
berpendapat harus membayar 5 ekor unta kali jumlah gigi.
Hal Sumpah
Orang yang
menuduh membunuh harus mengemukakan bukti dan oran g yang menolak tuduhan harus
bersumpah. Apabila ada pembunuhan yang tidak diketahui pembunuhnya, wali dari yang
terbunuh bisa menuduh kepada sesorang atatu suatu kelompok yang mempunyai
kaitan dengan pembunuhan, yaitu menyebutkan data-data.
Data-data
yang dikemukakan seperti :
ü Orang yang dituduh pernah bertengkar pada hari-hari sebelumnya
ü Orang yang dituduh pernah disakitkan hatinya.
ü Adanya alat yang hanya dimiliki oleh tertuduh
ü Adanya berita dari seseorang tertuduh kalau tidak menerima tuduhan bisa
membela diri dengan bersumpah, bahwa ia betul-betul tidak membunuh.
21. KIFARAT PEMBUNUHAN
Pembunuh
disamping dia wajib menyerahkan diri unutk dibunuh atau diat (denda) maka ia
diwajibkan juga membayar kifarat. Diyat adalah jenis denda sebagai tanda
penyesalan atau belasungkawa kepada keluarga korban. Sedang kifarat adalah
jenis denda sebagai tanda taubat kepada Allah SWT.
Ada pun
kifarat akibat pembunuhan adalah memerdekakan hamba yang Islam atau dia wajib
puasa dua bulan secara berturut-turut. Hal ini selaras dengan QS. An Nisaa: 92
BAB III
SIMPULAN
·
Qisas (bahasa arab:
قصاص) adalah istilah
dalam hukum islam
yang berarti pembalasan, mirip dengan istilah "hutang nyawa dibayar
nyawa". Dalam kasus pembunuhan hukum qisas memberikan hak kepada keluarga
korban untuk meminta hukuman mati kepada pembunuh. [1]
·
Dasarnya adalah: "Hai orang-orang yang
beriman diwajibkan bagi kamu qishash atas orang-orang yang dibunuh. Orang
merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
Barangsiapa mendapat ma'af dari saudaranya, hendaklah yang mema'afkan mengikuti
dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada
yang memberi ma'af dengan cara yang baik." [Al Baqarah:178]
·
"Dan Kami tetapkan atas mereka di dalamnya
(Taurat) bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan
hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka pun ada
Qisasnya. Barangsiapa yang melepaskan hak Qisas, maka melepaskan hak itu jadi
penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka adalah orang-orang yang zalim." [Al Maa-idah:45]
·
Meski demikian dikatakan Al Qur'an bila hak
Qisas dilepaskan oleh korban maka itu menjadi penebus dosa bagi mereka.
Keluarga korban dapat memaafkan pembunuh dan meminta penebus dalam bentuk
materi.
·
Qisas dipraktekkan di negara-negara yang
menganut syariat Islam seperti Arab Saudi, Iran dan Pakistan
DAFTAR PUSTAKA
1.
‘Abdul ‘Azhim bin Badawi al-Khalafi Al-Wajiz Fi Fiqhis
Sunnah Wal Kitabil ‘Aziz, atau Al-Wajiz Ensiklopedi Fikih Islam dalam Al-Qur’an
dan As-Sunnah Ash-Shahihah, terj. Ma’ruf Abdul Jalil (Pustaka As-Sunnah), hlm.
853 – 873.
Oleh ; Mohamad Topan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar